Menurut Website Interpol Disaster Victim Identification (DVI) adalah:
"The process of identifying victims of major disasters such as terrorist attacks or earthquakes is rarely possible by visual recognition."
"Proses identifikasi korban bencana besar seperti serangan teroris atau gempa bumi jarang dimungkinkan oleh pengakuan visual."
Sumber: http://www.interpol.int/INTERPOL-exp.../Forensics/DVI
Pada prinsipnya, Disaster Victim Identification (DVI) terdiri dari lima fase, yaitu :
1. Initial Action at the Disaster Site
LOKASI ditemukannya serpihan yang diduga berasal dari pesawat Air Asia QZ8501, di sekitar Selat Karimata.*
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area bencana.
Perkiraan jumlah korban.
Keadaan mayat.
Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
Metode untuk menangani mayat.
Transportasi mayat.
Penyimpanan mayat.
Kerusakan properti yang terjadi.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :
Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.
Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi.
Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencana.
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.
2. Collecting Post Mortem Data
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap – lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :
Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban.
Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika diperlukan.
Pemeriksaan sidik jari.
Pemeriksaan rontgen.
Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda.
Pemeriksaan DNA.
Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :
PRIMER : SIDIK JARI, PROFIL GIGI, DNA.
SECONDARY : VISUAL, FOTOGRAFI, PROPERTI JENAZAH, MEDIK-ANTROPOLOGI (TINGGI BADAN, RAS, DLL).
Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan – perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.
3. Collecting Ante Mortem Data
Suasana Posko Antemortem di Crisis Center Polda Jawa Timur.
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi – informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan korban.
4. Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.
5. Returning to the Family
Kedatangan jenazah Khairunisa Haidar Fauzi, pramugari Air Asia di Rumah duka, Jalan Pipa Reza Angkatan 66 Palembang, Sumatera Selatan sampai dikebumikan Jumat (2/1) malam di Pemakamam keluarga di Bukit Lama Ilir Barat 2 Palembang. Foto Evan Zumarli/Sumatera Ekspres/JPNN.com
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.
Indikator kesuksesan suatu proses disaster victim investigationbukan didasarkan pada cepat atau tidaknya proses tersebut berlangsung tapi lebih didasarkan pada akurasi atau ketepatan identifikasi. Pada prosesnya di Indonesia, disaster victim investigation terkadang menemui hambatan – hambatan. Hambatan yang terjadi terutama disebabkan oleh buruknya sistem pencatatan yang ada di negeri ini sehingga untuk mengumpulkan data ante mortem yang dibutuhkan, misalnya data sidik jari dari SIM (Surat Izin Mengemudi), rekam medis pemeriksaan gigi dan lain sebagainya, tim ante-mortem sering menemui kendala.
Seperti yang kita tahu, tidak semua penduduk Indonesia memiliki SIM dan tidak semua penduduk Indonesia yang memiliki SIM memiliki catatan sidik jari yang asli miliknya sendiri, karena tidak jarang pengambilan SIM di Indonesia dilakukan oleh orang lain yang bukan merupakan pemilik SIM, misalnya oleh calo atau suruhan si pembuat SIM. Ditambah lagi tidak semua penduduk Indonesia pernah melakukan pemeriksaan gigi yang tercatat, sehingga pengumpulan data profil gigi memang masih sulit untuk dilakukan. Pemeriksaan DNA pada pengumpulan data post-mortem juga tergolong pemeriksaan yang mahal sehingga terkadang polisi sebagai organisasi yang memimpin komando untuk DVI tidak memiliki biaya yang memadai untuk membayar pemeriksaan.
Hal ini sangat mengecewakan karena biaya untuk identifikasi korban seharusnya menjadi tanggungan pemerintah yang dibayarkan pada institusi terkait yang melakukan pemeriksaan, namun terkadang birokrasi yang dibutuhkan untuk mencairkan dana tersebut sangat sulit sehingga polisi harus mendanai sendiri permintaan identifikasinya. Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat terutama keluarga korban yang tentunya sangat ingin tahu mengenai benar tidaknya suatu jenazah merupakan keluarganya. Pemerintah seharusnya lebih tanggap mengenai hal – hal yang dibutuhkan untuk menjamin kelancaran proses DVI, terutama karena Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana alam, sehingga tentunya proses DVI yang baik akan sangat diperlukan di Indonesia.
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.
5. Returning to the Family
Kedatangan jenazah Khairunisa Haidar Fauzi, pramugari Air Asia di Rumah duka, Jalan Pipa Reza Angkatan 66 Palembang, Sumatera Selatan sampai dikebumikan Jumat (2/1) malam di Pemakamam keluarga di Bukit Lama Ilir Barat 2 Palembang. Foto Evan Zumarli/Sumatera Ekspres/JPNN.com
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.
Indikator kesuksesan suatu proses disaster victim investigationbukan didasarkan pada cepat atau tidaknya proses tersebut berlangsung tapi lebih didasarkan pada akurasi atau ketepatan identifikasi. Pada prosesnya di Indonesia, disaster victim investigation terkadang menemui hambatan – hambatan. Hambatan yang terjadi terutama disebabkan oleh buruknya sistem pencatatan yang ada di negeri ini sehingga untuk mengumpulkan data ante mortem yang dibutuhkan, misalnya data sidik jari dari SIM (Surat Izin Mengemudi), rekam medis pemeriksaan gigi dan lain sebagainya, tim ante-mortem sering menemui kendala.
Seperti yang kita tahu, tidak semua penduduk Indonesia memiliki SIM dan tidak semua penduduk Indonesia yang memiliki SIM memiliki catatan sidik jari yang asli miliknya sendiri, karena tidak jarang pengambilan SIM di Indonesia dilakukan oleh orang lain yang bukan merupakan pemilik SIM, misalnya oleh calo atau suruhan si pembuat SIM. Ditambah lagi tidak semua penduduk Indonesia pernah melakukan pemeriksaan gigi yang tercatat, sehingga pengumpulan data profil gigi memang masih sulit untuk dilakukan. Pemeriksaan DNA pada pengumpulan data post-mortem juga tergolong pemeriksaan yang mahal sehingga terkadang polisi sebagai organisasi yang memimpin komando untuk DVI tidak memiliki biaya yang memadai untuk membayar pemeriksaan.
Hal ini sangat mengecewakan karena biaya untuk identifikasi korban seharusnya menjadi tanggungan pemerintah yang dibayarkan pada institusi terkait yang melakukan pemeriksaan, namun terkadang birokrasi yang dibutuhkan untuk mencairkan dana tersebut sangat sulit sehingga polisi harus mendanai sendiri permintaan identifikasinya. Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat terutama keluarga korban yang tentunya sangat ingin tahu mengenai benar tidaknya suatu jenazah merupakan keluarganya. Pemerintah seharusnya lebih tanggap mengenai hal – hal yang dibutuhkan untuk menjamin kelancaran proses DVI, terutama karena Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana alam, sehingga tentunya proses DVI yang baik akan sangat diperlukan di Indonesia.
DVI INDONESIA
Kementerian Kesehatan bersama Kepolisian RI sejak tahun 1999 melakukan kegiatan Pembentukan Tim DVI di Indonesia (Tim DVI Nasional, Tim DVI Regional dan Tim DVI Provinsi). Tim DVI Nasional berkedudukan di ibu kota Negara dan mempunyai tugas membina dan mengkoordinasikan semua usaha serta kegiatan identifikasi, sesuai aturan dan prosedur yang berlaku secara nasional maupun Internasional pada korban-korban mati massal akibat bencana (Disaster Victim Identification).
Saat ini telah terbentuk 4 Tim DVI Regional terdiri dari :
Tim DVI Regional Barat I berkedudukan di Medan
Tim DVI Regional Barat II berkedudukan di Jakarta
Tim DVI Regional Tengah berkedudukan di Surabaya
Tim DVI Regional Timur berkedudukan di Makassar
Tim DVI Regional tersebut merupakan perpanjangan tangan dari Tim DVI Nasionl sebagai koordintor bagi Provinsi dalam wilayah kerjanya, sedangkan Tim DVI Provinsi merupakan pelaksana identifikasi terhadap semua korban mati pada bencana.
Beberapa Keberhasilan DVI Indonesia dalam identifikasi korban mati dan kejadian bencana yaitu :
1. Kejadian Bom :
Bom Bali tahun 2002 dari 202 korban mati berhasil diidentifikasi 200 korban mati (99%)
Bom Bali tahun 2005 berhasil diidentifikasi 23 korban mati (100%)
Bom JW Mariot Jakarta tahun 2003 berhasil diidentifikasi 12 korban mati (100%)
Bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004
2. Kecelakaan Transportasi :
Kecelakaan Mandala di Medan tahun 2005 teridentifikasi 143 korban mati dari penumpang dan masyarakat sipil
Tenggelamnya Kapal Senopati dan KM Tri Star tahun 2006 teridentifikasi 642 korban mati
Kecelakaan Pesawat Garuda tahun 2007 teridentifikasi 21 korban mati.
3. Gempa Bumi / Tsunami :
Aceh dan Sumatera Utara tahun 2005 dan 2006
Jogjakarta tahun 2006
Tasikmalaya tahun 2009 teridentifikasi 79 korban mati
Sumatera Barat tahun 2009 teridentifikasi 478 korban mati
JADI, Entah bagaimana namun seperti inilah negeri kita Indonesia Raya, penuh dengan Resiko bencana, Akhir kata Marilah kita kurangi Resiko tersebut :)
Sumber : http://www.kaskus.co.id/thread/54ace37aa2cb17292c8b4572/?ref=forumlanding&med=hot_thread/